Rabu, 24 Mei 2017

“Memperhatikan Kesehatan dari Akar Rumput” (Mengenal Kecamatan Losari-Kabupaten Cirebon, Ujung Timur Jawa Barat)

Kabupaten Cirebon terletak di ujung timur Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan letak geografisnya, Kabupaten Cirebon berada pada posisi 108°40’-108°48’ Bujur Timur dan 6°30’-7°00’ Lintang Selatan. Sedangkan Kecamatan Losari merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Cirebon yang berada di ujung timur dan persis berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, terletak kurang lebih 45 menit dari ibu kota. Kecamatan ini merupakan salah satu wilayah yang berada di sebuah jalur tersohor yang dikenal orang sebagai jalur Pantura (Pantai Utara), karena di sebelah utaranya memang berbatasan dengan garis pantai, yakni Laut Jawa. Terbagi ke dalam 10 desa, Kecamatan Losari terdiri dari dua kategori daratan yaitu daratan rendah dan pesisir.


Gambar 1.1 Peta Geografis Kabupaten Cirebon

Berawal dari keinginan yang besar untuk terus mengenal Nusantara selepas mengikuti Riset Ethnografi tahun 2014 di Tolitoli (sepenggal kisahnya ada dalam buku Jelajah Nusantara 2), langkah kaki kemudian tertuntun untuk terus menjejak belahan bumi Nusantara yang lain. Hingga, pada suatu hari, kesempatan untuk bergabung dengan sebuah program bernama Pencerah Nusantara milik CISDI (Center of Indonesia’s Strategic Development Initiatives) pun datang. Pencerah Nusantara inilah yang kemudian sekaligus menjadi media bagi saya untuk mewujudkan keinginan tersebut, sekaligus keinginan terbesar lainnya, yakni untuk turut berkontribusi dalam perbaikan derajat kesehatan masyarakat secara nyata, dan bukan sekedar sebagai saksi mata belaka melainkan sebagai salah satu “pemerhati kesehatan dari akar rumput”. Pada Kecamatan Losari inilah kemudian kami, Tim Pencerah Nusantara Cirebon yang terdiri dari 5 orang pemuda/i dikirimkan.


Gambar 1.2 Posisi Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon

Harapan dan Ekspektasi
           
Ekspektasi apa yang pertama kami bayangkan tentang penempatan tersebut? Yaitu adalah bahwa kami di tempatkan di daerah yang pasti aksesnya mudah, baik transport, komunikasi, hingga tekhnologi. Serta, bahwa kharakteristik masyarakat kota yang cenderung individual dan lebih maju secara pengetahuan karena mudahnya mendapatkan akses informasi. Pola pikir akan kesehatan yang cenderung sudah terbentuk itu merupakan sebuah bekal positif, namun akan menjadi tantangan pula bagi kami untuk menanamkan sebuah persepsi baru. Bagai dua mata sisi uang logam, begitu pula potensi dan tantangan yang ada, keduanya tak dapat dipisahkan satu sama lain.
            Serentetan data tentang wilayah kerja kami ini pun datang beruntun saat pelatihan. Pada saat itu kami pun merasa bahwa data yang tersedia cukup lengkap. Data tersebut sangat membantu kami dalam memperoleh gambaran tentang penempatan kami nantinya. Hanya saja, sedikit kebingungan pun melanda. Tantangan apa yang sesungguhnya akan kami hadapi di penempatan tersebut yang menyebabkan kami harus di tempatkan di sana? Padahal dari hasil pengkategorian data kesehatan, banyak indikator kesehatan sudah berada pada garis hijau, yang artinya adalah aman-aman saja. Kecuali beberapa indikator, dan yang cukup mencolok adalah AKI dan AKB-nya.




Saat pertama kali datang
            Singkat cerita, 40 hari paska pelatihan intensif, yaitu pada tanggal 9-10 Mei 2016, 9 tim bentukan yang terdiri dari 5-6 orang pemuda/i dengan profesi berbeda di berangkatkan ke 9 titik, yaitu ke Aceh Selatan, Muara Enim, Grobogan, Gunung Mas, Sumbawa Barat, Konawe, Mamuju Utara, Sorong dan kami sendiri, ke Cirebon. Tim Cirebon terdiri dari Adil Mahesa (perawat), Sujie Pratiwi (dokter), Firlya Rahma R. (bidan), Sofwatun Nida (Kesehatan Masyarakat) dan saya sendiri yang juga berasal dari background Kesehatan Masyarakat. Kebetulan di hari keberangkatan kami, tim kami baru dipertemukan dengan perwakilan dari pemerintah daerah Cirebon yang mana pada waktu itu diwakili oleh Kepala Dinas Kesehatan bersama rombongan, termasuk di dalamnya adalah Kepala Puskesmas Losari sendiri, yaitu Bapak Hermanto, SKM., MM. Paska pertemuan, rombongan tersebut pulang ke Cirebon terlebih dahulu, dan kami pun menyusul beberapa saat kemudian dengan kendaraan berbeda. Jika rombongan tersebut menggunakan kereta, kami diakomodasikan menggunakan travel mengingat perbekalan yang kami bawa adalah perbekalan untuk setahun kedepan.
            Estimasi perjalanan kami ternyata meleset. Dari yang semula mengira hanya sekitar tiga jam dari ibukota, ternyata pada hari itu perjalanan kami memakan waktu hingga kurang lebih 6 jam. Setelah keluar dari Tol Palikanci, kami kembali menghubungi Bapak Kepala Puskesmas untuk kembali menanyakan arahan ke tempat tujuan. Kurang lebih 30 menit kemudian, kami pun tiba di tempat tujuan dengan selamat, serta langsung mendapatkan traktiran makan dari Bapak Kapus. Hehehe, Alhamdulillah kenyaaaang. Di malam hari pada hari pertama itu, kami mulai berkenalan dengan Bapak Kapus dan saling bercerita mengenai asal-usul hingga keluarga kami masing-masing.
            Segera setelah selesai bersantap malam bersama, kami diantar ke salah satu rumah staff puskesmas yang kebetulan dekat dengan lokasi Puskesmas tempat kami nantinya akan mengabdikan diri selama satu tahun. Di sanalah kami menginap untuk beberapa hari pertama di Losari, sebelum kemudian memperoleh kontrakan sebagai tempat tinggal untuk setahun ke depan. Keesokan harinya, kamipun berangkat ke puskesmas bersama staff puskesmas yang berbaik hati memperbolehkan kami untuk tinggal di rumahnya. Hari pertama masuk kerja, kami pun mulai berkenalan dengan staff puskesmas yang pada waktu itu total berjumlah sekitar 85 orang. Sedikit kheder (bingung dalam bahasa Losari, red.), karena jumlah pegawai yang cukup besar ini membuat kami susah menghafal nama dan juga wajah pegawai satu per satu dengan cepat. Meskipun kemudian pada beberapa bulan selanjutnya, kami berhasil juga menghafal dan mulai dekat dengan staff satu per satu.

Gambar 1.3 Tampak Depan Bagian Rawat Inap Puskesmas Losari
Yang Unik di Losari
            Mari berhenti sejenak dari ketimpangan-ketimpangan yang disebutkan pada paragraf sebelumnya. Kali ini, mari berbicara tentang hal-hal yang menarik, yang biasa dikulik oleh para ethnografer, yakni unsur budaya. Bahasa dari masyarakat Losari cenderung menggunakan bahasa Jawa dalam keseharian. Namun, bahasanya sedikit berbeda dengan bahasa Jawa dari Jawa Tengah pun Jawa Timur. Tidak ada perbedaan bahasa yang terbagi untuk penggunaan pada saat berbicara dengan orang yang lebih tua, bernada seperti ngapak khas Tegal namun tidak terlalu, serta perbedaannya dengan bahasa Jawa Timur adalah penggunaan huruf vokal ‘a’ pada tiap kata, sedangkan Jawa Timur biasa memakai huruf vocal ‘o’.  Contohnya adalah pengucapan ‘pira’ dan ‘piro’ (berapa, red.), ‘sapa’  dan ‘sopo’ (siapa, red.), ‘ora papa’ dan ‘ora popo’ (tidak apa, red.), dsb. Ada juga beberapa kosa kata yang tidak digunakan oleh orang Jawa Timur atau Jawa Tengah, seperti ‘ana belih’ (ada tidak, red.), ‘kepriben’ (bagaimana, red.), ‘sak kiyek’ (sekarang, red.), dan lain-lain.
Masyarakat Losari mayoritas beragama Islam. Bahkan, kami sendiri jarang menemukan warga non muslim selama 9 bulan perjalanan kami di penempatan. Oleh karena itu, budaya-budaya yang beredar di masyarakat Losari tidak jauh-jauh dari budaya Islam, atau budaya Islam yang telah bercampur dengan budaya Jawa. Apalagi, Kota Cirebon dikenal sebagai Kota Wali. Keluarga Kesultanan Cirebon merupakan keturunan dari Sunan Gunung Jati, yaitu salah seorang tokoh penyebar agama Islam di daratan Jawa yang tergabung dalam Wali Songo. Kecamatan Losari sendiri, berdasarkan riwayat yang terbaca dalam Babad Tanah Losari, tidak jauh-jauh dari pengaruh seorang pangeran yang berasal dari Kesultanan Cirebon, yakni Pangeran Angka Wijaya, atau dikenal juga sebagai Pangeran Losari.
Pangeran Losari ini diceritakan sebagai seorang pangeran yang memiliki minat pada dunia seni. Berdasarkan beberapa informasi, salah satu tarian tradisional kelas internasional yang berasal dari Losari-Cirebon, yakni tari topeng, salah satunya tercipta oleh kontribusi dari Pangeran Losari. Sayangnya, tari ini semakin lama semakin ditelan oleh jaman. Karya seni lain dari Pangeran Losari adalah sebuah kereta kencana dengan nama Paksi Naga Liman, dimana terdapat ukiran sebuah hewan gabungan dari naga, ular dan belalai gajah. Kereta kencana tersebut pada saat ini tersimpan di sebuah museum yang berada di wilayah Keraton Kasepuhan. Gua Sunyaragi yang terletak di salah satu sudut kota Cirebon pun, dikenal sebagai salah satu hasil karya beliau.

  

Gambar 1.4 Kesenian Tari Topeng dan Kereta Paksi Naga Liman


Gambar 1.5 Gua Sunyaragi

Adapun pertunjukan khas lain, adalah adanya pertunjukan yang dikenal dengan sebutan Burok.  Yakni merupakan sebuah pertunjukan yang diperuntukkan sebagai hiburan anak-anak. Biasanya, seni Burok ini ditanggap di acara khitanan anak laki-laki. Nama Burok ini berkaitan dengan nama kendaraan Nabi Muhammad pada saat peristiwa Isra Miraj. Tujuan pertunjukan ini adalah sebagai hiburan bagi anak yang dikhitan dengan tujuan ngalap berkah dengan menunggangi Burok, seperti kendaraan Nabi. Bentuk Burok sendiri adalah sebuah boneka yang menyerupai hewan. Pada saat dimainkan, anak yang khitan akan menaiki boneka Burok tersebut, kemudian akan dipanggul oleh 2 orang dan diarak diiringi music Burok. Jika dicari informasinya, makna simbolik dari pertunjukan Burok ini sendiri ternyata sangat banyak. Ritual khitanan anak di daerah Cirebon timur memang biasa diadakan besar-besaran, bahkan, sudah menyerupai hajatan pernikahan.


Gambar 1.6 Kesenian Burok

Budaya lain yang berhubungan dengan Islam, adalah budaya pengajian. Yaitu sebuah perkumpulan yang didalamnya terdapat kegiatan membaca Al Qur’an sebagai kitab suci orang muslim, berbagi ilmu keagamaan dari seorang kyai (ulama/tokoh agama pada kaum Muslim). Pada beberapa wilayah, apalagi yang terdapat pondok pesantren, masyarakat masih sangat memegang nilai-nilai agama serta memegang ajaran dari Sang Kyai. Adat pengajian 7 harian, 40 harian, 100 harian hingga haul (1000 harian) paska peristiwa kematian seorang warga pun masih dilaksanakan di sini, seperti layaknya budaya Jawa pada umumnya. Yang sedikit pudar adalah budaya pada ibu hamil. Selama di penempatan, kami hanya beberapa kali menyaksikan adanya upacara adat bagi ibu hamil. Namun, saat digali informasi, sebenarnya memang ada budaya upacara adat bagi ibu hamil. Hanya saja, budaya tersebut sudah mulai ditinggalkan karena berbagai alasan.


Gambar 1.7 Upacara adat tebus wetheng pada ibu hamil

Salah satu budaya upacara yang masih dilakukan adalah upacara ‘tebus weteng’, atau artinya menebus perut. Biasa diadakan pada seorang wanita yang sedang hamil, tapi hanya pada kehamilan anak pertama saja. Rangkaian upacara terdiri dari tasyakuran (baca do’a), dan dilanjut siraman seperti pada gambar. Sejumlah saudara terdekat dari wanita yang hamil maupun dari saudara suaminya akan bergiliran mengambil air kembang dalam gentong, kemudian setiap sudah tiga kali siram, si ibu hamil akan berdiri dan menjatuhkan kelapa gading yang sedang dipangkunya. Kelapa gading ini sudah ditorehi sebuah tulisan dalam bahasa Arab yang merupakan sebuah do’a, penorehnya adalah ‘orang yang dianggap mengerti’. Menurut kepercayaan setempat, makna dari menjatuhkan kelapa secepatnya paska disiram sebanyak 3 kali ialah agar bayi lahir dengan cepat dan mudah pada waktunya nanti.
Tidak ketinggalan, budaya yang juga kental di masyarakat Pantura adalah budaya dendang dan goyang. Pada banyak acara, masyarakat Losari seringkali mengundang biduan untuk menghibur para  undangan. Sang biduan tak hanya menghibur dengan berdendang, tapi juga bergoyang. Bila beruntung, biduan ini akan mendapatkan saweran, yaitu diberi sejumlah uang oleh penonton, dan inipun sudah menjadi budaya. Semakin seru penampilan biduan, akan semakin banyak pula saweran. Lagu khas di daerah ini disebut sebagai lagu Cirebonan, yang kalau didengar-dengar sebenarnya beraliran musik dangdut namun kebanyakan berlirik Bahasa Jawa khas Cirebon.
            Beranjak ke unsur budaya lain, yakni tentang makanan. Karena merupakan daerah yang dekat dengan laut, makanan di sini tidak jauh-jauh dari seafood. Ikan, udang, kepiting, rajungan, kerang, cumi, dan sebangsanya. Unsur budaya kali ini cukup signifikan sekali dalam memberikan pengaruh pada kesehatan. Antara lain dengan hubungannya terhadap hipertensi. Serta, sama seperti di penduduk pesisir pada umumnya, meski hasil laut melimpah, bagian terbaik yang mereka dapat selalu mereka jual. Adapun hasil tambak, komoditas utamanya adalah ikan bandeng. Ikan bandeng ini bisa diolah dengan berbagai metode. Salah satu yang unik adalah olahan bandeng gepuk. Ikan bandeng yang banyak durinya ini dagingnya dipisah dari kulitnya dan diolah sedemikian rupa hingga menjadi lumat dan dimasukkan lagi ke dalam kulit ikan yang tadinya dilepas.

Gambar 1.8 Rajungan dan olahan bandeng gepuk, salah satu komoditas unggulan di Losari

Fakta di lapangan, tentang tantangan

Kembali lagi berbicara tentang gambaran kesehatan masyarakat. Saat turun lapangan, kami mulai mendapatkan banyak informasi tentang kharakteristik masyarakat, dan kali ini tidak sekedar informasi, melainkan sesuatu yang kami rasa dan lihat dengan mata kepala sendiri. Disebutkan oleh berbagai narasumber, bahwa kharakteristik masyarakat Pantura itu keras. Benarkah? Sesungguhnya, mau tidak mau saya sendiri harus bilang ya, itu benar namun tidak semua. Hal inilah yang merupakan salah satu faktor penghambat diterimanya program kesehatan oleh masyarakat dengan baik. Namun beberapa bulan selanjutnya, saya menyadari kembali bahwa meski keras, sesungguhnya masih ada harapan untuk merangkul mereka, tergantung bagaimana cara pendekatannya. Cara pendekatan yang baik, niat yang baik, cenderung akan mendapat tanggapan yang baik pula.
Seperti yang telah disampaikan di atas, Puskesmas Losari memiliki banyak program. Dimulai dari program-program tersebutlah, kami mulai kembali turun ke masyarakat. Sambil berenang minum air, mencoba lebih banyak mengenal karakteristik masyarakat, serta bagaimana sebuah program dijalankan. Kami mulai turun ke berbagai golongan bersama-sama dengan para pemegang program. Ke sekolah, ke pos kelompok kerja, ke kelompok ibu hamil, kelompok ibu balita, kelompok lansia, dan lain-lain. Setiap kelompok tersebut biasanya memiliki resiko kesehatan tersendiri. Oleh karenanya, perlu dikaji lebih jauh tentang apa kebutuhan kelompok sasaran program tersebut agar program dapat berjalan tepat guna.
Pada kelompok remaja misalnya. Berdasarkan hasil analisis assessment kesehatan remaja (sasaran assessment adalah siswa/i SMP dan SMA atau sederajat), kami mendapati perilaku merokok dini pada anak lelaki cukup tinggi dan bentuk pergaulan terhadap lawan jenis cukup riskan menjadi kebablasan (kelewatan). Anak usia sekolah menengah pertama sudah terpapar dengan perilaku merokok karena tuntutan pergaulan. Pacaran, tak lagi menjadi sesuatu yang dipandang wah. Sayangnya, perilaku tersebut tidak sebanding dengan tingkat pengetahuan terhadap kesehatan reproduksi. Kabar baiknya, angka pernikahan dini karena tuntutan ‘pandangan masyarakat’ atau ‘paksaan orang tua’ tak lagi terlalu tinggi di sini.  Justru, adapun yang menikah dini, itu karena permintaannya sendiri. Hal ini di lain sisi menjadi pekerjaan rumah bagi tim guru, orang tua, serta orang kesehatan untuk lagi-lagi memberikan bekal pengetahuan yang cukup pada para muda-mudi untuk terus berusaha mengejar cita-cita, dan bukan ‘cinta-cinta’-annya. Kencangnya arus informasi, mudahnya tekhnologi komunikasi, di sini benar-benar telah menjadi dua sisi positif dan negatif yang tak lagi dapat dipisah seperti pada mata uang logam.
Bergerak dari masa remaja, masa selanjutnya pada life cycle adalah masa dewasa. Masa dewasa, tak lepas dari tuntutan untuk bekerja. Mayoritas pekerjaan penduduk di wilayah kecamatan Losari ada 2, yakni nelayan dan petani. Pulang dari laut, berbagai jenis ikan di bawa untuk dijual kembali nantinya. Tak hanya ikan-ikanan, tapi juga berbagai jenis udang, kerang, kepiting dan rajungan. Rajungan sendiri, merupakan sebuah komoditas unggulan di daerah pesisir Pantura. Beberapa kongsi perusahaan rajungan benar-benar telah memberikan lapangan pekerjaan bagi penduduk. Para ibu-ibu, cukup banyak yang bergabung dalam perusahaan ini sebagai pekerjaan sehari-hari, para pengocek (pengupas, red.) rajungan dikenalnya.  Ngocek, merupakan sebuah kata kerja yang digunakan sebagai bahasa daerah yang berarti mengupas. Setiap pekerjaan selalu memiliki resiko. Bagi para pengocek rajungan, resiko yang harus ditanggung dan terlihat nyata adalah kondisi telapak tangan mereka yang menjadi gatal-gatal, dan berubah menjadi berwarna pucat serta berkerut-kerut seperti kondisi telapak tangan yang berada dalam air berjam-jam. Jelas saja, karena mereka bisa membutuhkan waktu seharian dalam mengocek rajungan, pekerjaan tersebut bisa mereka bawa pulang. Artinya, telapak tangan mereka sekaligus seperti direndam seharian karena kondisi rajungan yang juga mengandung air. Oleh karena itu, salah satu bentuk penyakit akibat kerja yang paling banyak ada di Losari adalah penyakit kulit.

Gambar 1.9 Salah satu kondisi telapak tangan pengocek rajungan

Jenis pekerjaan penduduk mayoritas lainnya adalah sebagai petani, petani sendiri digolongkan menjadi 2 disini, yaitu petani tanaman yang mayoritas adalah bawang merah, dan petani tambak yang mayoritas adalah ikan bandeng. Ya, komoditas bawang merah dan ikan bandeng juga merupakan salah satu komoditas unggulan di Kecamatan Losari. Kontur pesisir di wilayah Losari memang cocok dijadikan tambak atau disebut juga balong oleh masyarakat setempat. Berdasarkan informasi dari beberapa narasumber, hasil panen tambak dan bawang merah akan bisa menghasilkan keuntungan yang luar biasa besar kalo memang sedang untung, namun kerugian juga bisa sangat besar kalau sedang apes.
   

Gambar 1.10 Salah satu mata pencaharian mayoritas warga, petani tambak dan bawang merah

Keunikan lainnya pada masyarakat dalam hal pekerjaan adalah tingginya jumlah TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Negara favorit yang dituju adalah ke Korea, Arab, Hongkong, dan Taiwan. Persyaratan untuk menjadi TKI memang dibilang cukup mudah bila dibandingkan mencari pekerjaan di negeri sendiri. Persyaratan pendidikan tidak perlu terlalu tinggi dan gaji lebih dari gaji pekerja di Indonesia sendiri. Siapa yang tidak tertarik? Maka, berbondong-bondonglah mereka mencoba untuk mengais rejeki di negeri orang. Alhasil, ada suami yang meninggalkan anak dan istrinya, ada istri yang meninggalkan anak dan suaminya, dan ada anak yang meninggalkan orang tuanya. Pola asuh anak yang cenderung diasuh oleh neneknya sudah menjadi hal biasa. Tentu saja, baik secara langsung maupun tidak langsung, pola pengasuhan yang demikian akan berpengaruh pada perkembangan si anak. Segi positifnya, adalah bahwa perekonomian keluarga pada masa ada yang bekerja ke luar negeri akan aman, rumah bahkan bisa menjadi bagus. Pertanyaannya, apakah kondisi aman itu akan bertahan paska kepulangan mereka ataukah akan turut berhenti?
            Jawabnya, belum tentu. Sebuah lingkaran setan, lagi-lagi putaran rantai yang tak pernah putus antara masalah pendidikan-ekonomi-kesehatan, belum bisa dipisahkan. Mayoritas tingkat pendidikan penduduk adalah SD dan SMP. Faktor ini, mau tidak mau harus kita akui sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat ekonomi dan tingkat kesehatan. Saya rasa, tidak perlu diungkap panjang kali lebar tentang hubungan antara ketiganya di sini.


Gambar 1.11 Salah satu sasaran program puskesmas adalah siswa/i sekolah dasar

            Dari segi kesehatan sendiri, yang mencolok adalah jumlah penderita kusta dan tuberkulosis yang tidak hanya satu dua. Bagi saya sendiri, ini adalah pengalaman pertama saya dalam menemui pasien kusta. Sebuah penyakit yang dulu hanya saya pelajari di buku pelajaran, kini tak lagi menjadi penyakit yang ‘luar biasa’ di sini. Nomor tiga terbesar se-Jawa Barat. Tuberkulosis pun demikian, sudah bukan hal yang ‘wah’ lagi di sini. Ada dua sisi mata koin yang tidak bisa dipisah lagi jika melihat kondisi tersebut. Sisi pertama, positif karena persepsi masyarakat yang tidak cenderung mengucilkan penderita sudah mulai terbentuk. Sisi kedua, adalah turunnya tingkat kewaspadaan terhadap penyakit tersebut. Maka, pengetahuan masyarakat perlu untuk terus di kawal dalam menghadapi jenis penyakit yang demikian, minimal tentang bagaimana cara penularan dan bagaimana bentuk pencegahan. Lebih baik lagi jika masyarakat mengenal tanda atau gejala penderita, dan bisa bekerja sama dengan pihak kesehatan untuk melaporkan kecurigaan. Mengingat kapasitas jumlah tenaga kesehatan yang terbatas, jelas metode yang mungkin bisa kita sebut sebagai ‘kader dari masyarakat’ itu akan sangat membantu. Tantangan untuk menanamkan persepsi kesehatan yang baru inilah sesungguhnya tugas utama kami. Meningkatkan peran serta aktif masyarakat, melakukan pemberdayaan, bersama-sama berusaha mewujudkan cita-cita bersama untuk menuju Kecamatan Losari Sehat.


Gambar 1.12 Salah satu kondisi penderita kusta

Harapan itu masih ada, tentang sebuah potensi yang luar biasa

Hari-hari pun berganti, hingga sampailah kami di masa 9 bulan paska penempatan. Kini, sisa sekitar 100 hari lagi perjalanan kami. Selama perjalanan ini, perjuangan kami masih belum seberapa. Masih ada banyak pekerjaan untuk tim pengganti kami selanjutnya. Namun demikian, selama perjalanan ini kami tidak melulu hanya melihat tantangan, sebab, potensi yang ada justru lebih membentang. Modal sosial yang kami temukan terasa seperti oase di padang pasir. Dua mata sisi pada uang koin mungkin memang tidak bisa terpisahkan. Namun ukiran pada salah satu sisi bisa lebih diperindah, bukan?

Lagi-lagi kita harus kembali mengingat bahwa kewajiban membangun kesehatan bukanlah milik orang kesehatan saja, melainkan milik kita bersama. Koordinasi lintas sektor harus terus dibangun. Kerjasama dengan pemerintah desa serta kecamatan adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Sekolah-sekolah adalah sasaran empuk dalam membangun persepsi serta pengetahuan anak-anak tentang kesehatan. Pengetahuan yang cukup akan menjadi modal mereka dalam menjalani hidup. Boleh bergaul dengan siapa saja, asal punya batasan-batasannya. Berawal dari bekal yang benar untuk melangkah maju ke depan, kualitas sumber daya manusia yang baik pasti akan dengan sendirinya memperbaiki kualitas ekonomi dan kesehatan. Masa depan yang baik sungguh sedang tergantung nyata di depan mata, untuk segera dapat diraih oleh si empunya. Kuncinya? Koordinasi dan data. Pada setiap pelaksanaan kegiatan, benar-benar harus mengindahkan proses perencanaan (plan), pelaksanaan (do), pengkoreksian (check) dan pelaksanaan perencanaan baru paska koreksi (action) agar tantangan yang ada dapat segera ditangani. Bukan hal mudah, tapi Losari sudah punya modal ini. Salah satu sarana dalam proses tersebut pun sudah ada, yakni koordinasi lintas sektor melalui pertemuan sebulan sekali yang disebut Sarasehan. 


-----------------------------------------------------ooo-------------------------------------------------------

Oleh: Ummu Nafisah, Pencerah Nusantara Cirebon 4.
Diterbitkan dalam Buku Jelajah Nusantara 4 (Catatan Perjalanan 21 Peneliti)

Traveling - it leaves you speechless, then turns you into a storyteller.."
(Ibn Batuta)

0 komentar :

Posting Komentar